LOW EFFORT SYNDROME
LOW EFFORT SYNDROME
Ini terjadi sering juga di lingkungan selama kuliah.
- Banyak bertanya kepada dosen di kelas dikira cari perhatian atau haus nilai. Huft. Mau cari ilmu aja susah banget, ya. Nggak ada supportnya sedikitpun dari temannya sendiri. Kalau nggak tertarik sama pertanyaannya atau sudah nggak kuat ingin keluar kelas karena ngantuk, ya sudah tidur saja sekalian.
- Belajar sebelum ujian dari jauh hari dibilang 'ambisius'. Satu angkatan memang sudah tahu teman saya ini belajarnya rajin banget. Sudah dari jauh-jauh hari menulis rangkuman. Kemudian, banyak aura negatif berdatangan kepadanya seperti, "Lo udah belajar?" "Udah." "Gileee, ambis banget." Atau "kok lo udah belajar, sih? Gue aja belum. Bareng-bareng, dong." Atau digosipin, "iya, dia dididik sama orang tuanya emang harus berprestasi" dengan ekspresi nyinyir. Bagus, dong. Memangnya ada orang tua yang nyuruh anaknya malas-malasan selama kuliah? Lagian, gak semua orang punya waktu yang tepat untuk belajar. Ada orang bisanya belajar saat sore, atau saat dini hari, atau sengaja belajar dari jauh hari sebelum ujian karena tidak ingin membuat tubuhnya lelah kalau harus belajar pakai sistem SKS.
- Orang yang memilih belajar sendirian dibilang pelit ilmu. *Menghela napas* nggak semuanya orang mau belajar sambil bergosip. Mereka yang memilih belajar sendirian itu menghindari kegaduhan, berisik, dan ingin suasana yang tenang. Kalau gak begitu gak bisa belajar. Belajar ramai-ramai, paling ujung-ujungnya ngobrol. "Kan lo pinter, jelasin ke kita dong materinya. Gue lebih masuk materinya kalo ada yang cerita. Gue tipe belajar audio." Kemarin-kemarin dosen menjelaskan materi, ke mana aja? Malas ya malas aja!
- Mengerjakan tugas asal-asalan. Giliran direvisi dosen berkali-kali malah marah-marah. Ini namanya menyusahkan diri sendiri. Kalau mau nilai bagus, usahanya yang bener juga. Jadi nggak bolak-balik. Jangan dikit-dikit ngeluh dan mengkambinghitamkan sekitarnya. Terus, dosennya dimaki-maki. Pelit nilai lah, lagi sensitif sama mahasiswa, lah. Kenapa tidak evaluate diri sendiri lebih dalam?
- Meremehkan prestasi orang lain. Ada seorang teman yang dapat IPK bagus pada semester tersebut. Orang-orang toxic bilang, "iya sih, mata kuliah semester ini memang gak susah-susah amat. Makanya dia IPK-nya bagus." Wkwkwkwk. Pake usaha dan doa kaleeee. Kalau memang materinya mudah, kenapa IPK Anda tidak memuaskan seperti dia?
- Tidak menghargai dosen sebagai pengajar. Banyak lho yang begini. Dosennya dimaki-maki di belakangnya, ngegosipin yang nggak-nggak. Kalau nggak suka sama dosennya, langsung diperlakukan tidak sopan, dosennya sedang bicara malah melengos. Dosen itu guru. Ilmu yang didapat itu memangnya dari siapa? Berkah ilmu itu salah satunya didapat dari para guru, lho. "Dosen kan dibayar mahasiswa". Wah, wah. Bu Susi, tolong tenggelamkan saja yang begini!
- Tidak memberi sontekan dibilang pelit atau tidak solid. Sejak kapan solidaritas diukur dari kerja sama dalam mengerjakan ujian? Mahasiswa masih berpikir begitu rasanya sudah keterlaluan. Kasihan orang tuanya. Sudah bayar mahal-mahal buat kuliah, bukannya belajar yang bener malah nyontek. Belajar walaupun sedikit sudah disebut belajar, lho. Sedangkan menyontek? Gak dapat apa-apa.
- Mencari-cari kesalahan orang lain yang sama dengannya. Ceritanya dia belum mengerjakan tugas, deadlinenya dikumpulin hari ini juga. Dia malah, "eh, lu udah ngerjain tugas ini?" "Belum." "Ih, sama. Kirain gue doang." Lha? Harusnya mencari yang udah mengerjakan tugas buat referensi. Bukannya segera dikerjakan, malah mencari celah. Terus, ketika melihat temannya sudah mengumpulkan tugasnya. "Wah, parah, gak solid nih. Banyak yang belum ngumpulin tau." Zzz#@#£_&-+()/?????
Hal-hal seperti itu yang malah membuat mereka terpengaruh menjadi ciut. Jadi takut bertanya lagi soal materi kuliah, jadi takut 'ketahuan' belajar. Jadinya seperti ini, "lo pasti udah belajar, ya?" "Belum, kok." Padahal sudah, soalnya dia takut orang-orang nyinyirin dia. Orang yang tadinya mau mengumpulkan tugas sebelum hari deadline, gak jadi ngumpulin secepatnya karena ada perasaan nggak enak takut 'diserbu' teman-temannya. "IPK lo berapa?" "Kecil, kok." Padahal masuk kategori cumlaude. Lagi-lagi dia takut dibilang "ambisius."
Kenapa makna ambisius jadi bergeser ke makna yang negatif?
Bukannya berlomba-lomba dalam kebaikan. Berlomba-lomba dalam keambisiusannya, malah saling menjatuhkan.
Memang benar ya. Cikal-bakal orang Indonesia takut bersaing nih jangan-jangan bawaan dari saat dia menjadi mahasiswa? Gawat juga.
Jadi, biarkanlah mereka ambisius dengan caranya sendiri. Memangnya, itu merugikan? Merasa tidak rajin, tidak ambisius selama kuliah, lantas mengajak orang-orang agar bergabung untuk bermalas-malasan. Sudah malas, sirik pula. Hahahaha. Sekiranya iri, atau bahasa halusnya merasa tidak mampu bersaing, rasanya tidak perlu menjelek-jelekkan usaha orang yang benar-benar serius.
Dikiranya mereka yang kompetitif ini berjuang buat siapa? Ya buat orang tuanya. Orang tuanya yang bayarin kuliah. Apa haknya mereka malah menghujani komentar-komentar yang menjatuhkan? Orang tuanya pasti bangga anaknya berprestasi. Mereka sudah mendoakan anaknya siang-malam demi yang terbaik untuk anaknya.
Ingat, ya. Kalau mau malas, kalau ingin menjadi orang toxic, sendirian saja. Jangan menularkannya ke orang lain. Kalau merasa diri sendiri tidak membawa hal positif untuk orang lain, minimal jangan menularkan aura negatif kepada orang lain. Saya juga bukan tipe mahasiswi ambisius kok. Lempeng-lempeng aja, cenderung malas. Tapi bukan berarti menarik orang yang ambisius tersebut ke dalam arus kita. Justru harusnya saya yang mengikuti arusnya dia.
Kecuali mereka yang "ambisius" itu mendapat IPK bagus hasil menyontek atau ketahuan menyogok dosen, yang begitu silakan dibasmi dari peredaran.
Sumber : https://qr.ae/pNF9zY
Komentar
Posting Komentar